Selasa, 04 September 2012

The Story Begins With Gloves

By Dewi di 21.30

Mioni...

Gadis bodoh, jelek, ceroboh, dan benar-benar tidak terkenal, itulah aku. Mioni, gadis standar di di sebuah SMP di kotaku. Namun, orang-orang menganggap diriku sangat beruntung, bagaimana tidak!?Aku bisa dekat, bahkan bersahabat baik dengan laki-laki paling sempurna di Sekolahku. 'Sunny' hahahaa, namanya memang seperti perempuan, banyak yang bilang seperti itu, tapi dia sering dipanggil 'Sun' yang artinya 'Matahari', seperti namanya, orang itu seperti benar-benar memancarkan sinar dan kehangatan.



Baik hati, pintar, jago olahraga, bagaimana tidak? Semua itu membuatnya seakan seperti 'angel from heaven' yang menjadi idaman di Sekolah. Benar-benar mendekati kata 'sempurna'. Dia bahkan mempunyai banyak 'fans fanatic'.

Nasibku menjadi sahabatnya bukanlah sebuah keberuntungan, tiap hari, fans fanatic-nya itu selalu mengancamku, namun Sun selalu menyuruhku untuk tidak menghiraukannya.

Aku tidak mau munafik, seperti wanita lainnya, aku juga normal, jadi apa salah? Aku juga menaruh perasaan special padanya, bahkan sebelum orang menyadari betapa sempurnanya dia. Perasaan ini tidak hanya berlandaskan kesempurnaan dari dirinya, ini adalah perasaan murni dari hatiku.

Dia membuat diriku merasa nyaman ketika bersamanya, ikut merasakan kebahagiaan dan kesedihanku, bahkan menghiburku di kala aku sedih, dia sangat memahami diriku, dia tau apa yang aku suka, dan yang paling aku tidak suka, dia tidak pernah absen untuk mengisi hari-hariku.

***
Sun...
"Hush" ku tiup dan ku gosok-gosokkan tanganku yang rasanya sudah hampir membeku ini.

'Ptak' tiba-tiba sebuah tangan dari perempuan yang tak asing lagi bagiku ini menjetak keras dahiku.

"Aduh, Mioni, apa yang kau lakukan? Kenapa kau memukulku?" bentakku padanya, karena ulahnya dahiku kini menjadi sakit, mana mungkin tak sakit, jika dijitak dengan tangan sekeras baja itu.

"Hei, Sun, aku tau namamu itu artinya 'Matahari', tapi kenyataannya kamu itu manusia, 1 minggu lagi Natal, apa kau tidak tau?" wa, dia malah balas membentakku.

"Ha..Buahahahahahahaahaaaaa....!" aku tak tahan lagi, tawaku keluar tanpa kontrol, dia mengkhawatirkanku, ini lucu, tapi jujur aku senang.

"A..apa yang kau tertawakan? Perasaan di sini tak ada yang lucu!" sahutnya polos.

"Ha..ha, kau bilang tidak ada? Kau itu yang lucu, benar-benar seperti Ibu, apakah kau sangat mengkhawatirkanku?" ledekku sambil memegangi perutku dan berusaha menghentikan tawaku.

"Si..siapa yang mengkhawatirkanmu?" katanya sambil memalingkan wajahnya. Aku tau,wajahnya sekarang pasti sudah seperti apel merah.

"Sudah, jujur saja!" kataku menggodanya.

"Sudah ku bilang, aku tidak mengkhawatirkanmu!" sepertinya dia sudah mulai marah, hahahaa, mudah sekali?

Tiba-tiba dia membuka sarung tangannya dan melemparkannya ke arahku.

"Pakailah itu!" itulah kata-kata terakhir sebelum dia berjalan pergi meninggalkanku.

"Hei..hei, Mioni, tunggu!" teriakku berusaha menghentikannya, tapi dia malah memasang headphone-nya dan terus melanjutkan langkahnya.

'Mioni, seharusnya aku yang menghangatkanmu! Bukan kau yang menghangatkanku!' batinku sambil berdiri di tengah taman ini dan memandangi sarung tangan Mioni tanpa peduli salju yang menerpa tubuhku.

***
Mioni...

"Dasar, orang macam apa dia itu? Sarung tangan saja tidak punya, iishh!" omelku di dalam kamarku yang sepi ini.

'Tink' sebuah ide terlintas di kepalaku dan bibirku mengembangkan sebuah senyuman.

***
Aku duduk di atas tempat tidurku sambil memandangi benang wol dan jarum rajut yang berada di depanku.

"Ini akan menjadi Natal yang hebat!" kataku sambil tersenyum.

***
Author...
Beberapa saat kemudian...

"Kenapa ini begitu sulit?" terdengar sebuah teriakan yang memkakan telinga dari sebuah kamar yang di pintunya tergantung sebuah nama 'MIONI'

***
Mioni...
Natal...

"Selamat Natal!" tanpa basa-basi dan permisi, Sun memegang kepalaku, dan tak perlu waktu lama, ikatan rambutku telah menjadi hancur berantakan olehnya.

"Dasar! Apa kau gila?" kataku sambil mencubit lengannya.

"Aduh, apa kau begitu senang aku mengucapkan selamat Natal untukmu hah?" katanya sambil mencubit pipiku.

"Ish, percaya diri sekali!" gumamku tak jelas.

"Owch ia, nanti malam kau mau kemana?" tanyanya sambil menghentikan tangannya yang dari tadi mencubit kedua pipiku.

"Hah, nanti malam? Aku tak ada acara!" kadaku dengan hati yang sangat..sangat..sangat senang.

'Hal yang ku harapkan terjadi!' batinku, aku sangat gembira.

***
07.00 PM...

"Apakah dia sudah mau mati? Aku sudah menunggunya 30 menit, janjinya jam 06.30 PM, tapi sampai sekarang dia belum datang juga!" aku kini benar-benar marah, darahku sudah mulai mendidih layaknya lahar yang ingin segera keluar dari gunung api.

'Tin..tin...' sebuah mobil sport merah berhenti di depan rumahku, di dalamnya berdiri laki-laki yang dari tadi aku nanti-nanti.

 "Sun, apakah kau ingin...."

***

"Sun, mengapa kau mengajaknya?" tanya seorang perempuan yang tengah duduk di samping Sun dan aku sendiri juga tak tau namanya.

"Eh, apa kemarin kau bilang aku tak boleh mengajaknya Minchan?" kata Sun pada orang yang terlihat sombong ini.

"Ta..tapi Sun..."

"Mioni, masuklah!" kata Sun memotong kalimat minchan. Eh, tapi kenapa aku mau duduk di belakang? Hei, seharusnya sekarang aku yang duduk di depan bersama Sun!

***
Author...

Perjalanan ini sepertinya benar-benar terasa memuakkan bagi Mioni yang seperti nyamuk di antara Minchan dan Sun. Benar saja, Minchan yang selalu mencari perhatian Sun membuat mereka seakan-akan seperti sepasang kekasih yang tengah melewati malam Natal mereka.

"Sun, kita ke tempat itu yuk!" kata Minchan sambil menarik tangan Sun ke sebuah toko aksesoris.

"Mmm, aku mau beli minuman dulu ya disana!" kata Mioni sambil menunjuk sebuah supermarket. Hati Mioni mulai sakit, dia tidak tahan melihat semua yang ada di depan matanya itu.

"Sana, hush, kau mengganggu!" gumam Minchan sambil mengeluarkan senyum kemenangan.

***
"Hufhh" hembusan nafas Mioni setelah meneguk sebuah minuman dalam kemasan botol yang baru saja dibelinya. Dia merogoh sebuah benda yang terbungkus rapi dengan kertas berwarna merah yang bermotif hati.

'Tes' aliran air mengalir melewati pipi Mioni, ya dia menangis, menangisi hadiah yang seharusnya dia berikan pada Sun dengan latar romantis malam Natal 'GAGAL'.

"Apakah aku harus melupakan perasaanku pada Sun?" sepertinya Mioni sudah pasrah, namun...

"Aku tidak boleh seperti ini, aku harus berusaha, Sun dan Minchan tidak ada hubungan apa-apa, jadi aku masih punya kesempatan!" kata Mioni bangkit dari duduknya dan berlari ke arah toko di tempat dia meninggalkan Sun dan Minchan tadi.

***
Sun...

Kemana Mioni, kenapa membeli minuman lama sekali? Apa yang terjadi? Hufh, ini semua gara-gara perempuan gila ini!

"Sun, coba lihat ini, cocok tidak?" kata Minchan, padahal aku mengharapkan Mioni yang menanyakan ini padaku.

"Terserah!" kataku tak peduli.

"Sun, kenapa kau seperti itu?" kata perempuan tak penting itu. Aku tak peduli, aku hanya duduk sambil memandang pintu masuk, berharap Mioni datang dari sana.

"Sun..."

***
Mioni...

'Deg' apa yang mereka lakukan? Apa aku tak salah lihat? Di dalam toko ini mereka, mereka 'BERCIUMAN'.

'Tes' aliran air itu mulai datang lagi, mulai membasahi pipiku yang baru saja mengering.

'Pluuk' sebuah benda terjatuh dari tanganku. Kakiku bergetar tak mampu menopak berat tubuhku, aku bergerak mundur 4 langkah dan kemudian segera berlari sejauh yang ku bisa untuk meninggalkan tempat itu.

"Mioniiii..." terdengar teriakan Sun, tapi aku tak memperdulikannya.

***
"Apa yang ku lihat tadi, tolong, tolong katakan itu bohong, apa yang ku lihat tadi to..tolong terjadilah sebuah keajaiban yang mengubah ini menjadi mimpi dan aku ingin segera bangun dari mimpi ini!" kataku si sela isakanku.

"Tapi, sepertinya tak ada yang bisa membangunkanmu dari mimpi ini!" suara yang tak asing lagi di telingaku.

"S..Sun, untuk apa kau di sini? Untuk apa? Pergi, aku tidak mau melihatmu!" bentakku sambil terus menangis. Tiba-tiba Sun mendekat ke arahku dan memelukku.

"A..apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" kataku sambil berusaha memberontak agar aku bisa terlepas dari pelukannya. Namun sepertinya sia-sia.

"You must belive me, my baby!" katanya sambil terus memelukku. Heh, 'baby' ada hubungan apa aku dengannya?

"A..a..apa maksudmu?" kataku sambil berusaha melihat wajahnya.

"Hahaha, kau ini, dasar bodoh, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Minchan!" kata Sun sambil mengusap air mataku.

"Ta..tapi, kenapa kau.."

"Sssstt, itu semua dia yang memaksa!" kata Sun sambil menempelkan telunjuknya di bibirku.

Tiba-tiba Sun meraih tanganku, dia melepas sarung tanganku dan membuangnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku, namun dia hanya tersenyum, dia pun juga ikut melepas sarung tangannya, apa yang dia lakukan? Apakah dia ingin membeku bersamaku di sini?

"Ini.." dia menyerahkan 1 sarung tangan ke padaku, namun satunya masih ada di tangannya, tunggu, ini sarung tangan yang waktu ini ku berikan padanya, apa yang dia akan lakukan?

Dan tiba-tiba, 'Krreeekk' dia merobek satu sarung tangan yang dia pegang.

"Sun, apa yang kau lakuakn?" tanyaku sambil memandangi sarung tangan yang kini sudah menjadi 2 itu, benar-benar mengenaskan.

Tiba-tiba dia mengeluarkan sepasang sarung tangan berwarna merah yang bisa dibilang hampir tidak berbentuk tapi penuh akan makna.

"Kau tak membutuhkan itu!" katanya sambil ikut memasukkan kiriku ke dalam sarung tangan yang berda di tangan kanannya.

"Sun..." mataku kembali terasa perih, aku terharu.

"Yah, kenapa kau menangis?" kata Sun sambil memegang tanganku di dalam sarung tangan hasil rajutanku.

"Aku menyukaimuu" kataku pada Sun.

"Hah, apa yang kau bilang, aku tidak dengar, ulang, coba ulang!" kata Sun sambil memandangku mengharapkan kata itu keluar lagi dari mulutku.

"Maaf Sun, tapi tidak ada replay!" kataku sambil tersenyum.

"Yah, Mioni, ulaaanggggggg!!!!!!!!!!"


The End


Nah, bagaimana? Anehkah? Tolong tinggalkan komentar ya ^^
Maaf juga gambarnya jelek, bikinnya cepet-cepet, *padahal emang ga bisa bikin yang bagus* hahahahahaaa

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blue Sky and Beautiful Sky Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea